Rabu, 22 Februari 2012

Lebaranan di Bangka yuuukkk.... - Tamat


Jam tujuh pagi kami berangkat dari Jebus menuju Pangkal Pinang. Sebenarnya kami salah memperhitungkan urutan perjalanan kami, sehingga banyak juga waktu kami yang terbuang di jalan. Weni tidak bergabung lagi dengan kami karena dia ikut ayahnya pulang ke Palembang. Berenam kami semangat berangkat ke Pangkal Pinang. Pukul sebelas siang kami sudah memasuki Pangkal Pinang. Kota ini lebih besar daripada Sungai Liat, tapi terdapat banyak jalan satu arah sehingga kami sering berputar-putar mencari jalan.

Petunjuk arahnya juga kurang jelas, tidak seperti di Sungai Liat. Hotel banyak terpusat di dekat bandara. Selain itu, tidak terdapat banyak tempat wisata di daerah ini. Tapi untuk kuliner, banyak terdapat pilihan. Setelah makan siang di sebuah warung sambil menelepon beberapa hotel dan bertanya jenis wisata pantai di Pangkal Pinang kami berangkat ke pantai Pasir Padi yang disarankan oleh pemilik warung.

Akses ke pantai ini tidak sebagus akses-akses ke pantai di Sungai Liat, bahkan akupun sempat ragu apakah arah yang kutuju sudah benar karena jaraknya yang sangat jauh dari jalan utama. Setelah kurang lebih 20 menit masuk dari jalan utama, tibalah aku di sebuah pos, kami harus membayar Rp.1.000,- untuk dapat memasuki wilayah pantai tersebut. Kurang lebih 2 km dari pos itu terdapat pantai dengan persimpangan. Kalau ke kiri menuju Seratta Inn, kalau ke kanan menuju rumah makan-rumah makan yang banyak terdapat di pinggir pantai. Di sebelah kanan juga ada sebuah tempat outbounds yang ramai pengunjung.

Aku membelok ke kiri untuk mengecek harga kamar di Seratta Inn. Tempatnya asri dan cukup nyaman. Menurut tante Vivi yang pernah menginap di sini, makanannya juga enak. Terdapat beberapa tipe kamar, dengan harga mulai dari Rp.300.000,- untuk kamar standar. Tapi kami tidak jadi menginap di sini karena kami anggap jauh dari kota. Kami segera ke pantai. Di pinggir pantai, selain restoran-restoran terdapat juga warung-warung kaki lima yang berjualan es dogan, bakso dan lain-lain.

Kami memesan es dogan untuk menghilangkan lelah. Pantai cukup banyak dikunjungi orang, mungkin karena suasana libur lebaran hari kedua. Satu es dogan harganya Rp.13.000,-  tanpa tambahan apapun.

Pantai Pasir Padi boleh dibilang mirip dengan pantai Matras karena masih terdapat anak kepiting dan pasirnya juga sangat halus. Lautnya sangat jauh dari jalan, ombaknya hampir tidak kelihatan, sangat tenang. Ada sebuah hamparan kerikil merah dan pohon-pohon agak ketengah. Karena air sedang surut, maka kita dapat berjalan kaki menuju pohon-pohon tersebut.
 
Sayang terdapat banyak sampah di tepi pantai padahal tidak terlihat ada petugas kebersihan di sana. Selain itu juga banyak yang mengendarai mobil dan motor di pantai ini, jadi agak was-was melepas anak-anak untuk bermain sendiri.

Di pantai ini juga ada restoran berbentuk kapal, karena sudah lapar juga, akhirnya kami memutuskan untuk makan di restoran tersebut.

Selesai makan kami kembali ke kota untuk mencari penginapan. Oh ya, di Pangkal Pinang banyak terdapat burung, walet atau bukan aku kurang tahu, jadi hati-hati saat berjalan di bawah kabel listrik, takutnya kejatuhan rejeki dari atas. Karena kakiku mengalami hal itu J. Setelah tanya sana sini akhirnya kami menemukan sebuah penginapan bernama Kacang Pedang Permai. Satu kamar AC dengan kamar mandi dalam dan sarapan untuk 2 orang yang diisi oleh kami berempat seharga Rp.195.000,- untuk laki-lakinya dengan kamar yang sama tapi lebih kecil dihargai Rp.155.000,-

Karena tidak banyak tempat wisata maka kami memutuskan besok akan pulang ke Palembang. Tapi sebelumnya kami ingin membeli oleh-oleh dulu. Ternyata “My Snack” tempat kami ingin membeli oleh-oleh baru buka pukul sembilan pagi, tapi karena kami mau pulang hari ini maka pemiliknya berbaik hati dengan membuka tokonya setengah jam lebih awal. Masih ada waktu satu setengah jam lagi, kami memutuskan untuk pergi ke sebuah kelenteng yang diberitahukan oleh pemilik penginapan.

Kelenteng tersebut terletak di Tanjung Bungah, kurang lebih setengah km dari jalan masuk ke pantai Pasir Padi. Jalan menuju kelenteng tersebut sudah bagus, hanya kira-kira 200 meter dari kelenteng jalannya berubah menjadi jalan berbatu dengan tanah merah. Tapi pemandangan di kelenteng itu sendiri sangat memukau. Nama kelenteng itu adalah Kelenteng Dewi Laut. Kelenteng itu menghadap ke arah laut.

Saat kami tiba, kelenteng sepi dan hanya ada seorang bapak pengurus kelenteng. Karena  waktu yang tersisa hanya sebentar kami hanya bisa sedikit berfoto. Tapi kami senang telah datang ke kelenteng ini. Sungguh indah.
 
Akhirnya saat untuk pulang pun tiba, rasanya belum ingin mengakhiri liburan ini tapi sudah tidak tahu mau kemana lagi. Ingin ke Belitung tapi harus menyeberang lagi dengan kapal feri yang memakan waktu seharian dengan biaya lumayan mahal, Rp.375.000,- per orang. Jadi kami pulang saja. Sebelumnya kami membeli nasi bungkus untuk bekal di perjalanan.

Perjalanan pulang kali ini agak ramai karena hari sudah siang, kami berhenti di rumah makan tempat kami sarapan pada hari pertama kedatangan kami yang sedang tutup untuk menikmati makan siang kami. Pukul dua siang kami tiba di pelabuhan Tanjung Kalian – Mentok. Kami beruntung karena kapal feri itu adalah kapal terakhir dan masih bisa memuat 3 motor lagi. Setelah membayar tiket masuk pelabuhan sebesar Rp.1.000,- per motor maka kami membeli tiket feri yang juga dijual di pintu masuk pelabuhan tersebut. Harga tiketnya lebih mahal Rp.4.000,- dari tiket berangkat kami. Jadi untuk pulang ini tiketku dan Shierly seharga Rp.160.000,-

Sayangnya karena terlambat maka kami tidak dapat tempat duduk lagi. Tipe kapalnya juga bukan seperti kapal kami kemarin. Kapal ini terdiri dari 3 dek yaitu dek bawah untuk mobil dan motor, dek tengah untuk tempat duduk yang berjajar dari kayu serta dek atas tempat nahkoda kapal. Semua tempat duduk di dek tengah sudah diisi orang, bahkan ada yang menggelar tikar di tengah-tengah lorong. Karena sudah kecapaian akhirnya kami pun cuek tidur di lantai yang jarang dilewati orang.

Kapal feri berangkat pukul empat sore dengan lama perjalanan tujuh jam tiga puluh menit. Biaya makan di atas kapal sangat mahal. Satu cup mi Rp.10.000,- Air mineral 1.500 ml seharga Rp.10.000,- per botol, bahkan untuk air panas saja Rp.3.000,- Pukul 11.30 malam kami tiba di pelabuhan Tanggo Buntung. Keluar kapal kami segera pulang ke rumah kami masing-masing. Capek tapi senang karena liburan ini benar-benar menyenangkan. Semoga ada kesempatan lagi kami dapat mengunjungi tempat-tempat lain di Bangka yang belum kami datangi.

Lebaranan di Bangka yuuukkk.... - Part IV


Pagi hari ketiga kami siap-siap, sebelum pergi kami berencana untuk sarapan bubur dulu. Semangkuk Rp.15.000. Air putih gratis..tis..tis.. Penjual buburnya juga memberitahu kami tempat-tempat lain yang bisa dikunjungi.
 
Oke, kami siap berangkat, sebelumnya pose dulu di depan rumah Fang-fang. Terima kasih ya Fang-fang dan keluarga yang telah mau menampung kami sang pengembara dadakan di rumah kalian. Sangat menyenangkan tinggal di rumah kalian dan disambut dengan hangat oleh kebaikan hati kalian. Hiks..hiks.. belum apa-apa sudah nggak ingin pergi karena masih ingin bermain dengan Lauren yang lucu dan Fandy yang ramah. Miss u guys…

 
Dari rumah Fang-fang kami pergi lagi ke pantai Tanjung Pesona. Tiket masuk Rp.10.000,- per motor. Selain pantainya disini juga terdapat hotel dan restoran, tempat bermain anak-anak, penyewaan kuda, jetski, dan speedboat. Mungkin karena ramai orang jadi banyak terdapat sampah yang dibuang oleh manusia yang malas membuang sampah pada tempatnya, untung ada petugas kebersihan disana yang terus menerus menyapu sampah, walaupun tetap kelihatan kotor karena lebih banyak yang membuang sampah dari pada yang membersihkan hehehe…

Pasir di pantainya sama seperti pasir di pantai Ancol, agak kasar. Terdapat batu-batu besar juga. Tapi pohon-pohon lebih dekat ke pantai sehingga dapat berteduh dan di bawah setiap pohon disediakan bangku-bangku batu untuk kita duduk. Terdapat toilet juga tidak jauh dari pantai untuk bilas dan lain-lain. Toiletnya besar dan bersih. Ada petugas yang rajin membersihkannya, airnya juga mengalir jernih.
 
Setelah mengambil beberapa foto kami segera pergi untuk melihat pantai yang lain. Tujuan kami berikutnya adalah pantai Teluk Uber. Pantai tersebut searah dengan pantai Tanjung Pesona. Tapi karena hari sudah semakin siang dan perut sudah lapar maka kami tidak berlama-lama di sana. Untuk ke pantai Teluk Uber tidak dikenakan biaya masuk walaupun di sana juga terdapat hotel. Kami kembali lagi ke kota dan mencari rumah makan yang buka karena hari ini adalah hari pertama lebaran jadi tidak banyak toko yang buka. Beruntung kami menemukan satu restoran yang buka walaupun ramai.

Kami menunggu agak lama untuk sepiring nasi ayam kalasan dan segelas es teh tawar karena pengunjung yang memadati restoran itu. Harganya Rp.25.000,- karena harga ayam naik. Kenyang, kami melanjutkan lagi perjalanan kami ke pantai Parai yang belum sempat kami kunjungi kemarin. Biaya masuk ke pantai Parai Rp.25.0000,- untuk dewasa dan gratis untuk anak-anak tapi tidak boleh ke kolam renang, kalau mau ke kolam renang biayanya beda lagi. Tiket masuk ini bisa ditukarkan dengan soft drink di “The Rock”.
 
Suasana di Parai mirip seperti di Ancol, hanya pantainya agak sempit, ombaknya lebih besar, pasirnya juga sama seperti pasir di Ancol. Aku sendiri agak heran dengan hal ini karena pantai Matras dan Parai sepertinya bersebelahan tapi kok pasirnya beda ya? Untuk kegiatan, disini lebih banyak pilihannya antara lain; jetski, banana boat, parasailing, diving dan lain-lain. Terdapat juga cottage apabila kita mau menginap.

Jam empat sore kami keluar dari pantai Parai dan langsung pergi ke Jebus untuk menemui ayah Weni. Ternyata rumah teman ayah Weni itu sangat jauh. Tepatnya di daerah Parit III, itupun masih ke dalam lagi. Kami sampai di rumah teman ayah Weni jam 8 malam. Kami diundang makan malam di rumah teman ayah Weni yang juga sedang sibuk menerima tamu karena mereka merayakan lebaran. Beliau seorang pengusaha timah juga. Terima kasih ya Ko Mimin atas makanannya dan tumpangannya.

Malam itu kami tidur tanpa ac atau kipas angin tapi tidak merasa kepanasan bahkan udara agak dingin, apalagi saat kami mandi di pagi hari. Untung di rumah yang dipinjamkan kepada kami terdapat dapur sehingga aku bisa masak air panas untuk Shierly mandi. Sarapan kami adalah mi instan yang dibawa oleh Vivi dan Ana dari Palembang. Sebenarnya kami ingin membeli oleh-oleh lempok cempedak tapi sayang persediaan di rumah penjualnya sudah habis karena sudah terlanjur dikirim kemarin.